Pemanfaatan Sistem
Manajemen Sisa-sisa Tanaman/
Crop Residue Management System (CRM) sebagai Upaya
Konservasi Tanah dan Air untuk Mencapai
Pertanian Produktif yang Berkelanjutan[1]
Astrid Damayanti[2]
Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Makalah ini memaparkan kajian tentang salah satu
teknologi konservasi tanah dan air (KTA) yang dikenal saat ini adalah sistem
manajemen pengelolaan residu tanaman (crop residue management/CRM system). Teknologi
CRM saat ini maju dengan cepat di berbagai belahan dunia. Dalam makalah ini,
penulis akan membahas mengenai hal-hal yang terkait dengan sistem CRM,
efektifitasnya, penyebaran penggunaannya, dan bagaimana keberlanjutan
penggunaan teknologi CRM sebagai salah satu teknik KTA. Berdasarkan pemaparan
di atas, akan dapat dipahami bahwa sistem CRM adalah cara KTA yang ekonomis dan
ramah lingkungan untuk produksi berkelanjutan. Bagaimanapun juga misi
konservasi pertanian akan menentukan kemampuan tanah untuk memberi makan
penduduk dunia dan membantu membentuk masa depan yang akan berdampak langsung
terhadap semua pertanian.
Kata kunci: konservasi tanah dan air, sistem manajemen sisa tanaman/crop
residue management system (CRM system), pertanian, produksi berkelanjutan
I.
Pendahuluan
Dalam
makalah ini, penulis akan membahas mengenai hal-hal yang terkait dengan sistem
CRM, efektifitasnya, penyebaran penggunaannya, dan bagaimana keberlanjutan
penggunaan teknologi CRM sebagai salah satu teknik KTA. Penulis akan
membahasnya secara berurutan dengan sumber informasi utama yang berasal dari 5
buah makalah yang terhimpun dalam Proceeding 8th ISCO Conference (1994) dengan
tema “Soil and Water Conservation: Challenges and Opportunities”, Volume 2,
Section X dengan judul “Resource Management and Tillage”.
II.
Sistem Manajemen Sisa-sisa Tanaman/Crop Residue Management System (CRM) sebagai Salah Satu Teknik
Konservasi Tanah dan Air
Sistem CRM
adalah salah satu teknik konservasi tanah dan air (KTA) yang dilakukan sepanjang
tahun terutama ditujukan untuk mengurangi erosi tanah oleh angin dan air.
Sistem CRM ini termasuk dalam kategori KTA secara agronomi, karena dilakukan
sepanjang tahun. Praktek-praktek KTA
lainnya seperti contouring, terasering,
grassed air, kontur strip rotasi tanaman, cropping strip angin, penghalang
angin, dan lapangan windbreaks (Scherts dan Kemps, 1994). Praktek-praktek
tersebut termasuk dalam kegiatan budidaya. Menurut Gajri dan Prihar (1984)
budidaya adalah proses pengelolaan tanah untuk produksi tanaman yang diterapkan
oleh manusia, hewan, atau mesin untuk mengolah tanah dengan mengubah lingkungan
fisik.
Sistem CRM dimulai
dengan menanam tanaman penghasil, kemudian setelah panen residu tanaman
(residu) penghasil tersebut dibiarkan di atas permukaan tanah. Untuk itu tanah
yang dikelola perlu direncanakan dengan hati-hati untuk menghindari penguburan
residu tanaman secara berlebihan. Persentase luas area residu tanaman yang
menutupi permukaan perlu ditentukan, mengingat mungkin saja sebelumnya telah
ada praktek-praktek konservasi lain yang digunakan untuk mengurangi erosi tanah
(Scherts dan Kemps, 1994).
Sistem CRM
digunakan untuk tujuan mengurangi atau meningkatkan infiltrasi air atau kelembaban
tanah, atau untuk meningkatkan kualitas air. Dengan demikian akan diperoleh
hasil panen yang memberikan keuntungan optimal (Scherts dan Kemps, 1994).
Sistem ini merupakan sistem perencanaan pengelolaan tanah yang mencakup
beberapa cara. Menurut CTIC (1993) seperti dirujuk
oleh Scherts dan Kemps (1994) di USA terdapat beberapa kategorisasi pengolahan tanah.
1.
No-till, tanah dibiarkan
tak terganggu dari panen kecuali untuk injeksi gizi pada saat penanaman atau
pada slot oleh coulters, pembersih baris, cakram pembuka, pahat ataupun
roto-tillers. Penanaman atau pengeboran dilakukan di persemaian yang sempit, sementara itu pengendalian
gulma dengan herbisida. Budidaya juga untuk pengendalian gulma darurat.
2.
Mulch-till/mulsa, sebelum penanaman tanah dikerjakan dengan alat seperti pahat, pembudidaya lapangan, coulters,
cakram, penyapu atau bilah. Pengendalian gulma dicapai dengan herbisida dan/atau budidaya.
3.
Ridge-till, tanah dibiarkan
tak terganggu dari panen kecuali untuk injeksi gizi pada saat penanaman. Penanaman
dilakukan dalam punggungan persemaian yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan
menyapu, disc pembuka, coulters, atau baris pembersih. Residu tanaman yang
tersisa terdapat di permukaan antara punggungan. Pengendalian gulma dicapai
dengan herbisida dan/atau budidaya. Selanjutnya
punggungan tersebut dibangun kembali selama budidaya.
4.
15-30% residu
tanaman, ditinggalkan setelah penanaman/budidaya atau setara dengan 560 kg/ha
residu tanaman butir kecil untuk 1.120 kg /ha yang diperoleh selama terjadinya periode
kritis erosi karena angin.
5.
< 15% residu
tanaman, ditinggalkan setelah penanaman/budidaya atau kurang dari 560 kg/ha residu tanaman butir kecil yang diperoleh
selama terjadinya periode kritis erosi karena angin.
III.
Efektifitas CRM
Biasanya
pada tanah yg dikerjakan infiltrasinya meningkat dan limpasan berkurang, karena
kerak di permukaan tanah pecah. Data dari percobaan Rao dkk, (1994) menunjukkan
bahwa peningkatan infiltrasi itu tidak berpengaruh pada limpasan tahunan dan
perbedaan perlakuan pada tanah yg dikerjakan tersebut kecil dan tidak
konsisten. Hal itu memperkuat pendapat Yule dkk (1990) yang mempelajari
tanggapan atas tanah yg dikerjakan dari waktu ke waktu dan hasilnya menunjukkan
bahwa berkurangnya limpasan hanya untuk suatu jangka pendek setelah tanah
tersebut dikerjakan, tetapi kemudian terjadi degradasi struktural dan
pembentukan kerak yang lebih banyak pada permukaan (Rao dkk, 1994). Asseline
dkk., (1994) menyatakan bahwa pengolahan tanah justru dapat mengganggu tanah
dan mengubah hubungan massa volume tanah. Hilangnya topsoil mengurangi bulk
density tanah dan meningkatkan pemadatannya. Sebaliknya menurut Gajri dan
rekan dalam sebuah tulisan yang tidak diterbitkan, perubahan kekuatan tanah
pasir akibat pengelolaan justru tetap bertahan sampai waktu panen, tidak
seperti bulk density (Gajri dan
Prihar, 1994).
Oleh karena itu praktek manajemen pengelolaan
tanah menurut Rao, dkk, (1994), harus bertujuan memaksimalkan infiltrasi air
hujan ke tanah. Hal ini pada gilirannya berkaitan dengan pengelolaan permukaan
tanah yang memadat. Berbagai pilihan manajemen pengelolaan tanah yang tersedia
menurut Rao dkk (1994) adalah:
1. Memecah permukaan yang padat secara mekanis,
2. Melindungi permukaan dari degradasi struktural sebagai
dampak turunnya hujan, dilakukan dengan penerapan residu tanaman sebagai mulsa;
3. Meningkatkan struktur tanah, dengan penambahan pupuk
kandang peternakan yang cenderung meningkatkan stabilitas struktur tanah.
Residu
tanaman yang ditinggalkan di permukaan tanah terbukti efektif melindungi tanah
dari dampak hujan dan mengurangi kecepatan angin di permukaan tanah, sampai
tumbuhnya kanopi tanaman berikutnya. Awalnya dilakukan pembajakan untuk
mengganti tanah yg dikerjakan, membalikkan tanah dan mengubur residu tanaman,
sehingga permukaan tanah yang retak menjadi lebih gembur, meninggalkan potongan
akar, membunuh rumput liar, dan meninggalkan sebagian besar residu tanaman pada
permukaan tanah. Namun, akibatnya pada penanaman berikutnya, sering dibutuhkan
pekerjaan tambahan yakni pengendalian gulma, karena sebagian besar permukaan
tanah terkubur oleh residu tanaman. Untuk itu digunakan bahan kimia atau
kombinasi bahan kimia untuk mengendalikan gulma (Scherts dan Kemps, 1994).
Selain pengendalian gulma, perubahan topografi mikro dan pencampuran amandemen,
tanah yg dikerjakan juga ditujukan untuk pengentasan kendala tanah yang terkait
dengan pertumbuhan tanaman. Struktur fisik tanah sering berubah dengan
pengerjaan tanah dan dan pada gilirannya mempengaruhi lingkungan edaphic tanah
(yaitu, impedansi mekanis, ketersediaan air tanah dan aerasi dan rezim termal)
di persemaian dan/atau akar persemaian. Sejauh mana aspek ini akan berubah
tergantung pada kondisi tanah yang ada dan jenis dan metode penerapan alat pada
tanah yg dikerjakan.
Adapun
keuntungan sistem CRM menurut Scherts dan Kemps (1994) antara lain:
1. mengurangi erosi tanah oleh air, besarnya bervariasi dari
40 hingga lebih dari 90 persen tergantung pada jumlah penutup permukaan tanah
yang tersisa di permukaan. Namun, efektivitas pengendalian erosi residu tanaman
juga ditentukan oleh faktor-faktor seperti jenis, jumlah dan cara aplikasi
mulsa (Khera dan Kukal, 1994; Williams, John D., dkk., 2000). Manfaat dari residu tanaman permukaan dalam mengurangi
erosi tanah oleh air juga berkorelasi erat dengan pengurangan erosi angin;
2. meningkatkan bahan organik pada tanah dari 1,87 % menjadi
4% dalam waktu sekitar 15 tahun, melalui penggunaan residu atau mulsa (Sparrow,
dkk., 2006). Dengan adanya
mulsa maka terjadi peningkatan jumlah bahan organik, dapat meningkatkan
produktivitasnya dan akan lebih sulit tererosi, karena meningkatkan stabilitas
agregat tanah dan infiltrasi, yang selanjutnya dapat mengurangi erosi tanah;
(Khera dan Kukal, 1994; Rao dkk., 1994; Govaerts dkk, 2007). Residu tanaman penutup menghalangi air hujan sebelum
mereka mencapai tanah, menetralkan energi yang tersimpan dan dengan demikian
mengurangi pelepasan tanah dan transportasi. Bahan organik juga menghambat
kecepatan aliran permukaan sehingga mengalir dengan kecepatan yang tidak merusak
(Khera dan Kukal, 1994; Arsyad, 2006). Sebaliknya penanaman yang intensif dapat
menurunkan bahan organik tanah kurang dari separuh dari yang ada sebelum
budidaya dimulai;
3. mengurangi efek kekeringan meningkat secara signifikan
karena residu tanaman tersebut menghasilkan kelembaban tanah (Arsyad, 2006; Govaerts
dkk, 2007). Mempertahankan
kelembaban tanah adalah hal yang sangat penting untuk pertanian. Menurut Jalota
dan Prihar (1990), sebagaimana diuraikan oleh Gajri dan Prihar (1994),
konservasi kelembaban tanah tersebut tergantung pada jenis tanah, kondisi
iklim, dan kedalaman dan jenis tanah yg dikerjakan. Namun di daerah-daerah
lembab, ketika tanaman sangat membutuhkan air, hujan justru tidak selalu
terjadi. Sebagai contoh, Bauer dan Black (1991) dalam Scherts dan Kemps (1994),
menemukan bahwa sistem CRM yang baik di Northern Great Plains di US, dapat
menyimpan 6-10 cm kelembaban tanah dan meningkatkan sebesar 134 hasil gandum
dan hasil barley sebesar 188 kg/ha.cm setiap tambahan kelembaban;
4. meningkatkan infiltrasi dan kapasitas menahan air serta
menurunkan air limpasan dan penguapan, Akibatnya produksi tanaman per unit
curah hujan meningkat. Menurut Moore (1981) ketidakstabilan struktur tanah
akibat hujan dapat membentuk pemadatan di permukaan, sehingga dapat mengurangi
infiltrasi dan meningkatkan limpasan. Akibatnya, air yang tersedia dalam profil
akan berkurang (Rao dkk, 1994, Gajri dan Prihar, 1994). Dengan meninggalkan
residu tanaman pada permukaan tanah melindungi permukaan tanah dari dampak
tetesan air hujan, mengurangi gangguan, dispersi, dan penyegelan permukaan
tanah berikutnya dan dengan demikian membantu mempertahankan tingkat infiltrasi
yang tinggi dan mengurangi kecepatan limpasan (Khera dan Kukal, 1994; Parr
dkk., 1990 dalam Rao dkk., 1994), menyediakan lebih banyak air untuk produksi
tanaman dan meningkatkan pengisian ulang ke aquifers, serta meningkatkan proses
aerasi oksigen tanah;
5. meningkatkan populasi serangga dan cacing-cacing yang
memakan permukaan dan menggali bahan organik di dalam tanah untuk perlindungan
(Govaerts dkk, 2007; Nikita
dkk, 2009). Liang mereka sering
memfasilitasi infiltrasi lebih cepat dan di beberapa daerah dapat secara
signifikan mengurangi limpasan;
6. mengurangi evaporasi air dari tanah, meninggalkan lebih
banyak air yang tersedia untuk digunakan tanaman (Gajri dan Prihar, 1994).
Menurut Linden dkk (1987), sebagaimana dijelaskan oleh Scherts dan Kemps
(1994); hanya dengan 30 persen residu tanaman yang menutupi permukaan tanah,
maka potensi relatif evaporasinya mencapai 70 persen dibandingkan dengan jika
tidak ada residu tanaman. Penggunaan mulsa ternyata cukup efektif dalam
melestarikan kelembaban tanah dan meningkatkan hasil panen (Khera dan Kukal,
1994). Sebagaimana diuraikan oleh Gajri dan Prihar (1994), di lingkungan
sub-tropis India Utara, suhu di lapisan tanah yang dikerjakan dengan mulsa
supra-optimal selama musim panas meningkatkan hasil panen jagung;
7. mempertahankan atau meningkatkan kualitas air permukaan. Pengelolaan residu tanaman membantu menjaga sedimen, kotoran
hewan, patogen dan pestisida yang keluar dari permukaan di areal pengelolaan (Addiscott dan Dexter, 1994). Air yang mencapai aquifers umumnya mengandung kurang dari 1 persen
pestisida dan 99 persen adalah bahan organik alami. Air yang telah disaring perlahan-lahan
tersebut melalui Mollisols, dan praktis bebas dari patogen serta umumnya dapat
diminum.
IV.
Penyebaran penggunaan CRM
di dunia
Sejak 1985,
telah dikembangkan sekitar 1,7 juta rencana konservasi oleh kongres AS melalui
UU Ketahanan Pangan yang berisi beberapa ketentuan konservasi. Rencana ini melibatkan sekitar 58 juta ha lahan pertanian sangat kritis. Pada Desember
1993, sekitar 70 persen dari lahan sangat kritis dikonservasi. Petani memilih beberapa bentuk CRM untuk memenuhi tujuan
tersebut, untuk membantu petani mengendalikan erosi dan mendapatkan manfaat
dari program USDA tersebut. Pemilihan sistem ini-terutama karena ekonomi dan manfaat pengendalian erosi (Scherts dan Kemps, 1994).
Penerapan
sistem CRM terus meningkat di AS, didukung pula oleh Departemen AS Pertanian
untuk menerapkan Rencana Aksi CRM yang komprehensif yang melibatkan lembaga 9
USDA (USDA, 1991) sebagaimana diuraikan oleh Scherts dan Kemps (1994). Rencana ini menekankan pada usaha:
1. Pengumpulan dan distribusi informasi ekonomi dari petani
yang mempraktikkan sistem CRM yang baik;
2. Peningkatan pelatihan teknis untuk staf lapangan USDA;
3. Peningkatan
kontak dengan petani,
4. Demonstrasi
pertanian, dan
5. Peningkatan arus
informasi teknis dengan membangun aliansi CRM pertanian.
Pada tahun
1989, CRM di AS umumnya hanya memanfaatkan 15 persen atau kurang dari permukaan
lahan yang ditutupi dengan sisa tanaman. Pada tahun 1995 sistem CRM
ditingkatkan, yang menutupi permukaan menjadi lebih besar daripada 15 persen
lahan, dan hal itu meningkatkan produksi hampir 75 persen dari areal yang
ditanam. Tren CRM di AS menunjukkan pengelolaan lahan tertutup 15% meningkat
lebih cepat daripada sistem yang lain. Untuk jagung, lebih cepat mengadopsi no-till daripada sistem CRM bentuk lain,
diikuti dengan kedelai dan kapas. Pada kapas saat ini hanya menggunakan no-till pada sebagian kecil dari total
areal kapas. Prediksi menunjukkan bahwa kapas yang dikelola dengan no-till akan meningkat secara dramatis
dalam beberapa tahun mendatang. Sementara itu penggunaan mulch-till selama 3 tahun terakhir lebih lambat daripada no-till walaupun pada awalnya juga
meningkat. Menurut Smika dan Wicks (1968), sistem yang paling efektif di AS
untuk melestarikan ketersediaan air untuk tanaman adalah dengan no-till (Scherts dan Kemps, 1994),
sementara itu pertumbuhan gulma dikendalikan oleh herbisida dan benih
ditaburkan secara langsung ke dalam sisa tunggul dari tanaman sebelumnya.
Budidaya dan
manajemen residu tanaman juga dapat mempengaruhi, mempertahankan atau
meningkatkan kualitas air permukaan yang keluar dari permukaan di areal
pengelolaan akibat penggunaan bahan kimia yang dipakai untuk mengendalikan
gulma. Cara-cara tersebut dilakukan oleh petani di negara-negara Eropa dengan
tujuan untuk mengubah struktur tanah, mengubah jalur aliran air dan meningkatkan
aktivitas mikroba (Addiscott
dan Dexter, 1994).
Residu
tanaman dalam bentuk mulsa, setelah dipotong-potong di sebarkan merata di atas permukaan
tanah atau jika digunakan sebagai pupuk hijau dibenamkan ke dalam tanah baik
secara merata atau dalam jalur-jalur tertentu. Menurut Arsyad, 2006, penggunaan
mulsa pada tanah Latosol di Citayam dan Podsolik di Lampung, telah diteliti
oleh Suwardjo (1981), dan diketahui bahwa mulsa selain mengurangi erosi juga
mempengaruhi suhu tanah, kemampuan tanah menahan air, kekuatan penetrasi,
kemantapan agregat dan perbaikan aerasi tanah. Penelitian penggunaan mulsa di
Indonesia juga pernah dilakukan oleh Sinukaban (2006) di daerah Darmaga dan
Jasinga. Menurut Lal, Pribar, Siny dan Sandhu (1979) sebagaimana dijelaskan
oleh Arsyad (2006), penurunan suhu tanah di daerah tropika merupakan salah satu
faktor penyebab meningkatnya hasil tanaman. Daya guna mulsa dalam melindungi
tanah dari daya perusak/erosi butir-butir hujan ditentukan oleh persentase penutupan
tanah oleh mulsa tersebut (Sinukaban, 2006).
Beberapa
studi pengukuran kekuatan tanah,
menunjukkan bahwa tanah yg dibajak kekuatan tanahnya terhadap erosi oleh
air berkurang secara signifikan di lapisan yang digarap. Sebaliknya Gangwar K.S
dkk (2006) telah membuktikan bahwa dengan dikuranginya pembajakan namun tetap
menggunakan residu tanaman pada tanah
lempung berpasir di dataran Gangga India dapat mencapai produksi gandum yang
optimal setelah sebelumnya ditanami padi terlebih dahulu. Williams, John D.,
dkk. (2000) juga membuktikan pertanian
lahan kering di plato Columbia, Oregon dan Washington (AS) bahwa tanah yg
dibajak memang dapat mengendalikan gulma dan penyakit dan secara konsisten
menghasilkan hasil panen yang baik. Sayangnya, mereka juga merusak struktur
tanah dan mengakibatkan banyak kerugian dengan air tanah erosi. Sebuah sistem
konservasi baru menggunakan residu tanaman manajemen, yang lumbung-sistem
bajak, telah menunjukkan janji untuk pengendalian gulma.
Tanah yg diolah
secara konvensional, yakni dengan pembajakan, seringkali menciptakan kondisi
yang dapat membatasi mikroba dan gerakan cacing tanah dalam mempercepat
dekomposisi residu tanaman, yang pada akhirnya mengurangi pasokan makanan untuk
cacing tanah. Dampak negatif ini dapat diatasi dengan mempertahankan residu
tanaman di agroecosystems. Nikita dkk (2009)
telah melakukan penelitian untuk menentukan efek dari berbagai tanah yg
dikerjakan dan praktek-praktek pengelolaan residu tanaman pada populasi cacing
tanah di di Quebec, Kanada. Pertumbuhan cacing tanah diamati pada tiga sistem
tanah yg dikerjakan: dengan moldboard bajak/garu disk (CT), dengan pahat bajak
atau garu disk (RT), pada tanah yg yang tidak diolah sama sekali (NT), serta pada
tanah dengan dua tingkat input residu tanaman (tinggi dan rendah). Hasilnya diketahui
bahwa populasi dan biomassa cacing tanah dalam jangka panjang lebih besar pada
tanah yang tidak diolah (NT) daripada yang dibajak (CT dan RT), tapi rupanya
kondisi tersebut tidak dipengaruhi oleh residu tanaman.
Tanah yang
tidak diolah (ZT) mempengaruhi infiltrasi air dan kadar kelembaban tanah yang
lebih besar ketika residu tanaman tersisa di lapangan daripada ketika tidak ada
residu. Tingkat infiltrasi menjadi lebih tinggi dan menguntungkan karena didukung
meningkatnya kelembaban tanah yang mencapai 30%. Walaupun terjadi pembusukan
akar tanaman Jagung akibat peningkatan kelembaban tanah yang disebabkan oleh
residu tanaman, akan tetapi dengan melakukan rotasi jagung dengan gandum
mengurangi insiden akar membusuk jagung hingga 30%. Secara umum, insiden
penyakit akar lebih rendah pada gandum (hingga 3 pada skala 7) daripada jagung
(hingga 3,93 pada skala 4) untuk semua jenis pengolahan. Insiden akar membusuk dan populasi nematoda parasit ini juga tidak
berkorelasi dengan hasil. Walaupun penyakit akar tanaman mungkin mempengaruhi produktivitas,
namun dampaknya masih lebih kecil jika dibandingkan pengaruh faktor-faktor
seperti berkurangnya infiltrasi dan ketersediaan air. Baik kondisi mikroflora maupun
lingkungan memainkan peran kunci secara biologis dan kondisi patogen tanah. Praktek-praktek
pengelolaan tanah dengan tanpa pengolahan seperti ini juga telah dilakukan di
daerah semi-kering dan sawah tadah hujan pada dataran tinggi subtropis Meksiko Tengah
(Govaerts, dkk. 2007).
Peningkatan
kualitas tanah akibat peningkatan bahan organik juga dibuktikan oleh Sparrow,
Stephen D., dkk., (2006) pada
penelitian mereka di Alaska untuk berbagai tipe pengolahan tanah yakni yang
tanpa pengolahan (NT), sekali pengolahan setiap musim semi (DO), dan dua kali pengolahan
(DT, musim semi dan musim gugur). Diketahui bahwa hasil gabah,
yang rata-rata 1.980 kg/ha selama lebih dari 17 tahun di seluruh wilayah studi,
menunjukkan bahwa yang tertinggi adalah yang hanya sekali pengolahan (DO) dan
tidak berbeda secara nyata antara NT dan DT, tapi gulma adalah masalah serius pada
tanah yang yang tanpa pengolahan (NT). Dikuranginya praktek-praktek pengolahan
tanah dapat meningkatkan kualitas tanah dan melestarikan bahan organik, tapi untuk
jangka panjang di wilayah subarctic, tanah yang tanpa pengolahan (NT), tidak
dapat dilakukan karena adanya masalah gulma.
V.
Keberlanjutan penggunaan teknologi CRM
Setiap
praktek konservasi pertanian saat ini harus ekonomis agar dapat diadopsi secara
luas oleh para petani. Data menunjukkan bahwa sistem CRM ekonomis dan
memberikan laba bersih sama atau lebih tinggi daripada tanah yg dikerjakan
dengan cara lain. Petani dapat melaksanakan praktek ini dengan peralatan mereka
apa adanya tanpa atau hanya ada perubahan kecil seperti beralih dari sekop
bengkok ke sekop lurus atau garu agar lebih meninggalkan residu tanaman pada
permukaan tanah. Selain menerapkan sistem CRM terdapat beberapa pemikiran KTA
di kalangan petani AS agar memberikan penghasilan bersih yang lebih tinggi
antara lain mengurangi jumlah, kedalaman dan kecepatan operasi tanah yg
dikerjakan, serta menggunakan alat tertentu. Namun tidak sampai 3 tahun
penggunaan CRM telah meningkat dari 8 juta ha menjadi 14 juta ha di Amerika
Serikat (Scherts dan Kemps, 1994).
Studi
tentang pengaruh tanaman penutup dan praktek-praktek pengelolaan residu untuk
konservasi tanah dan air telah dilakukan pula oleh para ahli di dunia, seperti
Khera dan Kukal (1994) di daerah Punjab. Sementara itu sebagaimana diuraikan
oleh Prihar dkk, (1979), sejumlah penelitian di daerah-daerah tadah hujan juga
memperlihatkan hasil bahwa mulsa jerami sangat baik digunakan dalam KTA untuk
tujuan meningkatkan hasil panen (Khera dan Kukal, 1994).
Residu
tanaman di banyak negara digunakan
sebagai pakan hewan atau bahan bakar untuk memasak. Tuntutan-tuntutan ini
menaikkan harga relatifnya (dari US $20 sampai $40 per ton jerami gandum di
Asia Selatan). Menghilangkan pengelolaan tanah dapat mengurangi kebutuhan untuk
hewan pembajak dan sisa tanaman untuk pakan mereka. Pengalaman di daerah iklim
semi arid AS, bahwa meninggalkan residu tanaman pada tanah dapat menjadi
investasi yang baik bahkan residu tersebut juga memiliki nilai penting untuk
keperluan lain. Penggunaan jangka panjang sistem no-till terkait dengan efisiensi penggunaan air sehingga
memungkinkan banyak petani di daerah tersebut bercocok tanam rapeseed, jagung,
kedelai, kacang polong, lentil, sorgum, dan bunga matahari yang memerlukan
lebih banyak air daripada gandum sebagai tanaman utama. Keuntungan besar yang
dihasilkan dari CRM, meningkatkan fleksibilitas pemanfaatan pasar dan rotasi
tanaman, agar efektif dalam memecahkan serangga, gulma, penyakit, dan nematoda
dari siklus monokultur. Bauer dan Black (1991) menunjukkan pengalaman di dataran
tengah bagian utara dan selatan Amerika Serikat, bahwa setiap cm air yang
disimpan akan meningkatkan tambahan hasil gandum sekitar 100 kg/ha/cm (Scherts
dan Kemps, 1994).
Air memang
merupakan faktor utama yang membatasi produksi tanaman. Residu tanaman pada
permukaan tanah memberikan peningkatan yang cukup besar dalam produksi dengan
meningkatkan efisiensi penggunaan hujan. Sebagian besar hasil panen di tanah
Alfisols Semi Arid Tropik terkendala oleh ketersediaan air. Oleh karena itu
diperlukan praktek manajemen pengelolaan tanah yang dapat mengurangi kerugian
dan meningkatkan penggunaan air hujan yang diperlukan (Rao, dkk., 1994).
Penelitian dengan menggunakan model simulasi menyimpulkan bahwa untuk menangani
interaksi kompleks dari komponen sistem produksi yang berkelanjutan, sangat
memerlukan informasi mengenai perubahan pengelolaan tanah. Selain itu,
informasi kuantitatif tentang tanaman, fisik tanah, kimia dan biologi
lingkungan juga diperlukan (Gajri dan Prihar, 1994).
Bagi para
petani yang berasal dari Plateau Potwar Pakistan dan daerah semiarid lainnya
muncul pertanyaan apakah residu tanaman dapat memberikan hasil yang lebih baik
jika dijual ke pasar atau ditinggalkan di tanah untuk meningkatkan hasil panen
tahun depan? Saat ini sebagian besar Plateau Potwar Pakistan telah tandus dan
terkikis, dengan curah hujan hanya 40-60 cm per tahun. Hal tersebut dipicu
dengan meningkatnya populasi penduduk yang menggunakan pohon untuk bahan bakar
dan konstruksi serta pemanfaatan rumput untuk pakan hewan. Asumsikan bahwa
tanpa sisa, maka air yang tersedia di lapangan untuk tanaman sekitar setengah
dari 50 cm curah hujan per tahunnya. Dengan curah hujan yang hanya 25 cm, para
petani akan mampu menghasilkan sekitar 1.700 kg gandum dan sekitar 2000 kg
jerami per ha. Dengan asumsi harga padi-padian dan jerami adalah US$0.11 dan
$0,03 per kg, masing-masing, maka penghasilan bruto biji-bijian adalah US $187,
ditambah US $60 untuk jerami, sehingga totalnya US $247 per ha. Jika petani
Potwar dapat menyimpan 15 cm dari 25 cm hujan akan meningkatkan produksi 1.500
kg per ha menjadi total sekitar 3.200 kg per ha, dengan US $0,11 per ha petani
akan menerima penghasilan kotor $352 per ha untuk padi. Jerami yang dihasilkan
juga akan meningkat, tetapi jerami akan diperlukan di lapangan untuk konservasi
tanah dan air. Petani akan menambahkan biaya untuk pupuk tambahan agar
mendapatkan hasil yang lebih tinggi, tetapi biaya ini mungkin akan lebih kecil
dari biaya pengangkutan ke pasar dan buruh terlibat, seperti untuk menyiangi
rumput hijau sebagai pakan untuk ternak, atau dapat untuk mengendalikan gulma.
Selain itu juga digunakan herbisida untuk mengontrol pertumbuhan gulma,
sehingga mengurangi atau menghilangkan pengelolaan tanah yang mengubur
sisa-sisa tanaman dan mengurangi efektivitas konservasi air.
Roldán, A
dkk., (2003) menyimpulkan bahwa
praktek-praktek konservasi pengolahan tanah dapat memberikan kontribusi
teknologi alternatif untuk pertanian berkelanjutan di DAS Patzcuaro Meksiko,
yang dapat disebarkan ke kawasan serupa di tempat lain di Amerika Latin. Hal
ini didasarkan atas kenyataan bahwa pengolahan tanah yang intensif secara
konvensional untuk tanaman jagung (Zea mays L.) telah mengakibatkan degradasi
kualitas tanah di Daerah Aliran Sungai Patzcuaro di Meksiko tengah. Kesimpulan
tersebut diperoleh atas hasil evaluasi percobaan penanaman jagung dengan tujuh
perawatan pengelolaan tanah yang diimplementasikan pada tanah lempung berpasir
Andisol yakni pada tanah yg dikerjakan konvensional, pada tanah yg tanpa
pengolahan dan pada tanah dengan berbagai persentase cakupan permukaan residu
(0, 33, 66 dan 100%), serta pada tanah tanpa pengolahan dengan 33% residu
tanaman penutup Vicia entah sp. atau Phaseolus vulgaris L. Hal yang hampir sama
juga dilakukan oleh Sinukaban (2006) di
Darmaga. Berbagai alternatif manajemen pengolahan tanah tersebut telah menunjukkan
hasil peningkatan unsur hara. Sebagian besar
karakteristik kualitas tanah meningkat berbanding lurus dengan input residu.
Penggunaan manajemen tanah tanpa pengolahan maupun pengolahan tanah yang
minimum bersama-sama dengan sisa tanaman dalam jumlah yang moderat (33%) dan
ditanami spesies polongan cepat memperbaiki beberapa karakteristik kualitas
tanah.
VI.
Penutup
Berdasarkan
pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa sistem CRM ekonomis dan ramah
lingkungan. Teknologi CRM maju dengan cepat. Percobaan simulasi curah hujan dan
limpasan telah mengungkap pentingnya limpasan dan aliran bawah permukaan segera
setelah tanah dibajak, dan dipersiapkan untuk persemaian. Praktek-praktek budaya
memodifikasi proses limpasan atau aliran bawah permukaan, secara signifikan
mengurangi kecepatan aliran dan aliran puncak. Penggunaan CRM juga dapat
digabung dengan peralatan, herbisida dan prinsip-prinsip manajemen yang
tersedia saat ini, dengan maksud untuk berproduksi dengan biaya efektif dan
ramah lingkungan sistem berkelanjutan. Sementara itu penggunaan mulsa ternyata
cukup efektif dalam melestarikan kelembaban tanah dan meningkatkan hasil panen.
Manajemen
pengelolaan tanah memiliki dampak yang besar terhadap air hujan dan infiltrasi.
Dua aspek penting pengelolaan tanah adalah melindungi permukaan tanah dari
dampak hujan dan memperbaiki struktur tanah dengan penambahan organik. Jika
kombinasi tanaman dan CRM di daerah-daerah tadah hujan diikuti, maka tanah dan
air dapat dilestarikan secara efektif. Produksi pertanian berkelanjutan untuk
sebagian besar di daerah Semi Arid Tropik tergantung pada pengelolaan tanah
yang efisien dalam memanfaatkan air hujan dan pilihan manajemen yang efektif
dengan menggunakan informasi strategis yang telah tersedia. Misi konservasi
pertanian akan menentukan kemampuan tanah kita untuk memberi makan penduduk
dunia dan membantu membentuk masa depan yang akan berdampak langsung terhadap
semua pertanian.
DAFTAR
PUSTAKA
Addiscott, T.M dan A.R. Dexter, A.R. (1994)
“Tillage and Crop Residue Management Effects on Losses of Chemicals from Soils” Soil and Tillage Research,
Volume 30, Issues 2-4, June, hlm. 125-168.
Arsyad, Sitanala (2006). Konservasi
Tanah dan Air, Ed. Ke-2, Penerbit IPB, Bogor ,
hlm. 122, 148
Asseline,J dkk., (1994). “Soil Erodibility in Mediterranean Mountains of
Aveyron (Southern France)”, 8th ISCO Conference: Soil and Water Conservation: Challenges and Opportunities, Volume
2, New Delhi, India, hlm.1321-1330.
Gajri, P.R dan Prihar, S.S. (1994). “Role of Tillage in
Crop Production-The Indian Experience”, 8th ISCO Conference: Soil and Water Conservation: Challenges and
Opportunities, Volume 2, New Delhi, hlm.1305-1320.
Gangwar, K.S. dkk (2006) “Alternative Tillage
and Crop Residue Management in Wheat after Rice in Sandy Loam Soils of
Indo-Gangetic Plains” Soil and Tillage Research, Volume
88, Issues 1-2, July, hlm.
242-252.
Govaerts, Bram dkk (2007)
"Infiltration,
Soil Moisture, Root Rot and Nematode Populations after 12 years of Different Tillage,
Residue and Crop Rotation Managements” Soil and Tillage Research, Volume 94, Issue 1, May, hlm. 209-219.
Khera, K.L. dan Kukal, S.S. (1994). “Soil and Water
Conservation through Crop Cover and Residue Management, , 8th ISCO Conference: Soil and Water Conservation: Challenges and
Opportunities, Volume 2, New Delhi,
hlm. 1295-1304.
Nikita
dkk (2009) “Earthworm Populations and Growth Rates Related
to Long-term Crop Residue and Tillage Management” Soil and
Tillage Research, Volume 104, Issue 2, July, hlm. 311-316
Rao, K.P.C., dkk (1994). “Effect of Soil Management Practices
on Runoff and Infiltration Processes of Hardsetting Alfisol in Semi-Arid
Tropics”, 8th ISCO Conference: Soil and
Water Conservation: Challenges and Opportunities, Volume 2, New Delhi,
hlm.1287-1293.
Roldán,
A dkk., (2003). “No-Tillage, Crop Residue Additions, and Legume
Cover Cropping Effects on Soil Quality Characteristics under Maize in Patzcuaro
Watershed (Mexico)” Soil and Tillage Research, Volume 72,
Issue 1, July, hlm. 65-73.
Sandretto,
Carmen. Agricultural Chemicals and Production
Technology: Glossary http://www.ers.usda.gov/Briefing/AgChemicals/glossary.htm
[21
December 2000]
Scherts, D.L. dan Kemps, W.D.
(1994). “Crop Residue Management System and Their Role in
Achieving a Sustainable, Productive Agriculture”,
8th ISCO Conference: Soil
and Water Conservation: Challenges and Opportunities, Volume 2, New
Delhi,hlm.1255-1265.
Scherts, D.L. (1994). “Conservation Tillage -A Natinal
Perspective”. www.ag.auburn.edu/auxiliary/nsdl/scasc/Proceedings/.../Schertz.pdf
Sinukaban, Naik (2007). Konservasi Tanah dan Air: Kunci
Pembangunan Berkelanjutan. Direktorat Jenderal RLPS, Ed. Ke-1, hlm.
Sparrow, Stephen D., dkk., (2006). “Soil Quality Response to Tillage and Crop Residue
Removal under Subarctic Conditions” Soil and Tillage Research,
Volume 91, Issues 1-2, December, hlm. 15-21.
Williams,
John D., dkk. (2000) "Mow-Plow Crop Residue Management Influence on
Soil Erosion in North-Central Oregon” Soil and Tillage Research,
Volume 55, Issues 1-2, May, hlm. 71-78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar